Beberapa bulan yang lalu, Ami Susiani (Pradnyanaraira), kakak kelas saya semasa bersekolah di Denpasar, bercerita bahwa beliau diamanahi untuk menulis buku kisah seorang hafiz (penghafal Al Quran) cilik dari Bali. Saat itu saya berjanji dalam hati, akan segera membelinya begitu buku tersebut terbit. Alhamdulillah, janji tersebut telah terpenuhi. Berikut pendapat pribadi saya tentang buku tersebut.
***
Membuka halaman awal buku ini, dan melihat ukuran font yang besar-besar, kita akan segera tahu bahwa buku “Belia Penghafal Quran” ditujukan untuk anak-anak. Namun bukan berarti buku ini tidak penting untuk orangtua. Saya malah beranggapan justru para orangtualah yang pertama kali harus berbondong-bondong membaca buku ini. Sebab, seperti kata ustadzah saya, jangan harap anak kita rajin mengaji, jika kita sendiri tidak pernah menyentuh mushaf Al Quran. Sampai di halaman 22, mata saya berkaca ketika membaca penjelasan Namira tentang keutamaan menjadi orangtua penghafal Al Quran:
Tahukah Teman, hadiah bagi orangtua penghafal Al Quran? Subhanallah, luar biasa. Kelak di akhirat, kedua orangtua kita akan mendapat mahkota yang bagus sekali. Jangan samakan dengan mahkota yang dikenakan para ratu dan raja, yang sering kita lihat di televisi itu, ya. Sebab, jauh banget! Alias, jauuhh lebih indah dan bercahaya mahkota yang akan didapatkan oleh orangtua para penghafal Al Quran! Aku nggak ngarang sendiri, lo. Ada, kok, di hadis. Hadis adalah sabda Rasulullah. Hadisnya bersanad shahih, hadis yang dipastikan benar ...
Demikian cuplikan celoteh Namira tentang awal interaksinya dengan Al Quran. Seorang gadis penghafal Quran, masih belia (12 tahun), dari Bali pula. Siapa yang tidak tertarik membaca kisahnya? Di halaman perkenalan, saya baru tahu bahwa ternyata si belia yang telah hafal 25 juz Al Quran itu tak sendiri dalam keluarganya. Kedua kakak lelakinya, Fahmi (15 tahun) dan Habib (14 tahun) telah pula menjadi hafiz, full 30 juz. Mereka bertiga kini menjadi duta Al Quran di Pesantren Tahfiz Daarul Quran yang dirintis oleh Ustadz Yusuf Mansur. Subhanallah, saya tertegun dan terasa bergetar hati ini. Sungguh penasaran, orangtua macam apa yang telah mendidik mereka? Maka mata saya pun terus bergerak menekuri kata demi kata, jemari saya semakin lincah membuka halaman demi halaman karena semakin ke belakang, semakin hati saya dikejar rasa penasaran.
Setelah bercerita tentang awal interaksinya dengan Al Quran, Namira lantas bertutur tentang kesehariannya, awal mula kecintaannya terhadap Al Quran dan prosesnya menjadi penghafal Al Quran, diselipkan pengetahuan tentang berbagai keutamaan Al Quran serta keajaiban-keajaiban yang sering dialaminya setelah menjadi penghafal Al Quran. Ada juga bab tersendiri tentang cara belajar menghafal Al Quran serta tips menjadi penghafal Al Quran. Semua dituturkan dengan gaya bahasa yang santai dan akrab, seperti seorang bocah bercerita pada teman barunya. Jadilah buku ini tak melulu berisi cerita, tapi juga pelbagai pengetahuan tentang Al Quran yang mungkin kerap luput dari perhatian kita, yang notabene akhirnya membuat kita semakin jauh dari Kalam Illahi ini. Sungguh buku yang berbobot, namun dalam kemasan bahasa yang tak membosankan. Walhasil, saya tak punya alasan untuk menunda menyelesaikan membacanya, hingga buku ini pun selesai saya baca dalam sekali duduk, kurang lebih 45 menit.
Di pasaran, mungkin banyak buku tentang teori dan tips menghafal Al Quran. Namun dalam buku “Belia Penghafal Quran”, kita tak melulu disuguhi teori. Kita berhadapan dengan contoh konkrit dan nyata. Kita “bercakap-cakap” langsung dengan pelakunya. Di sinilah titik poin kelebihannya, yang menjadikan buku ini tak sekadar buku teori membosankan yang tak menyisakan bekas di hati begitu lembar terakhir usai dibaca.
Di akhir buku, sebagai pelengkap, kedua orangtua Namira sharing tentang kiat-kiat mereka mendidik ketiga buah hati mereka menjadi penghafal Al Quran. Di sinilah “senjata andalan” mereka dalam mendidik anak diungkap lebih mendalam.
Salah satu pelajaran besar yang saya dapat dari buku ini. Jika kita adalah orangtua yang “biasa-biasa” saja, bukan berarti tidak ada peluang bagi kita untuk mencetak putra-putri yang luar biasa. Jika buah hati kita terlihat “bermasalah”, bukan berarti harapan telah tiada. Di balik kenakalan-kenakalan mereka, tersimpan potensi luar biasa yang akan menyala dengan niat dan ikhtiar kita. Sebab Allah telah membekali kita dengan senjata. Senjata itulah yang bisa kita gunakan untuk anak-anak kita, tak hanya untuk urusan menghafal Quran, tapi juga masalah-masalah lain yang kerap kita hadapi saat mendidik dan membesarkan mereka. Kisah dalam buku “Belia Penghafal Quran” ini adalah bukti nyatanya. Kita akan takjub membaca di bagian akhir buku, ketika Ibunda Namira bercerita bagaimana ketiga anaknya adalah tipe “anak-anak bermasalah”. Namun semakin beranjak besar, ternyata ketiganya justru menjadi penghafal Quran, sebuah keistimewaan yang mungkin bertentangan dengan kenyataan yang terjadi di masa kecil mereka. Sekali lagi, itu adalah buah keistiqomahan mereka menggunakan “senjata andalan” itu.
Senjata andalan apakah itu? Penasaran? Beli dan baca sendiri bukunya ya! :D
NB: Buku bisa dibeli di TB. Gramedia. Buat yang kesulitan mendapatkannya, bisa langsung pesan ke penulisnya, Ami Susiani, HP 081316977112.
Merinding saya bacanya mba. Betul, "anak2 bermasalah" memiliki potensi besar yg seharusnya orang tua tahu dan harus digali dan dikembangkan.
BalasHapusMakasih ya mbak :)
Hapus