Begitulah. Meski sekarang zaman serba instan. Namun apa-apa yang dilakukan manual dan terkesan menyita waktu, tetap tak tergantikan.
Ibu-ibu jaman dulu mengulek bumbu dengan tangan, memasaknya di atas tungku berbahan bakar kayu. Konon bumbu yang diulek manual (tanpa memakai blender atau food processor) dan makanan yang dimasak di atas tungku kayu citarasanya jauh lebih lezat ketimbang makanan yang diolah dengan cara modern.
Dulu, saat saya masih bekerja sebagai penerjemah buku, ada yang menawari "mesin penerjemah pintar". Mesin itu bisa menerjemahkan jutaan kata hanya dalam hitungan detik.
Beberapa tahun kemudian, yakni saat ini, “mesin penerjemah pintar” semacam itu tidak dibutuhkan lagi. Sebab ada yang lebih praktis dan canggih, mana gratis pula. Namanya Google translate.
Lebih canggihkah hasil terjemahannya? Setelah saya tes, ternyata tiada beda. Di samping banyak kesalahan, hasil terjemahannya pun garing dan anyep seperti masakan kurang bumbu racikan koki amatiran. Seperti masakan soto ayamku hari itu.
Maka tak heran seorang penerjemah buku bisa dibayar jutaan rupiah "hanya" dari menerjemahkan sebuah buku.
Citarasa yang "wah" memang hasil sebuah proses. Kadang proses itu sangat panjang, menyita waktu, serta menuntut kesabaran. Dan di situlah letak seninya.
Suatu hari di panas terik bulan Ramadhan, seorang nenek tua tampak duduk beristirahat di pinggir jalan dekat rumah kami. Ia membawa tas kresek berisi sesuatu.
Suami saya yang baru datang tampak penasaran. "Jual apa, Mbah?" tanyanya.
Ternyata nenek tua itu berjualan pakaian bekas, dan ia tengah berkeliling menjajakan dagangannya.
Suami saya lantas mengeluarkan selembar uang puluhan ribu untuk disedekahkan kepada sang nenek.
Saya yang juga penasaran lalu menghampiri nenek itu. "Baju apa sih, Mbah?"
Ia pun mengeluarkan dagangannya. Pakaian-pakaian yang menurut saya sih sudah tak layak jual, mending dijadikan kain lap saja.
Tentu saja saya hanya berkata dalam hati saja. Tak tega melihatnya begitu bersemangat membuka helai demi helai pakaian-pakaian usang itu. Saya pun memasang mimik antusias untuk menyenangkannya, kemudian memilih selembar rok usang untuk saya beli.
Mereka yang mau berproses untuk mencapai sesuatu, harus kita
hargai kan?
Mereka yang tidak memilih jalan instan dengan memilih jadi
pengemis saja, misalnya. Yang modalnya cuma telapak tangan yang ditadahkan dari
rumah ke rumah. Tak perlu capek menggotong barang dagangan ke sana-kemari.
Mereka yang mau berproses, sudah selayaknya dibayar mahal.
Dan alasan itu sudah cukup bagi saya untuk "membayar mahal" selembar rok usang. Sejatinya, bukan rok usang itu yang saya beli. Saya membayar pelajaran berharga yang saya terima siang itu. Pelajaran tentang ketekunan dan kesabaran berproses.
Elka Ferani: Surabaya, 4 Februari 2013
Update 13 Juni 2013:
Tulisan di atas dimuat di majalah donatur OASE - LMI edisi April 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar