Senin, 11 Februari 2013

Mulianya Seorang Pengusaha

Ilustrasi: www.tipsmu-tipsku.com
Suatu hari, dalam sebuah obrolan dengan seorang teman. Dia tertawa terbahak-bahak saat saya katakan bawa ibu saya tidak bisa menjahit.

"Masak sih? Penjahit kok tidak bisa menjahit?" katanya setelah tawanya reda. Rupanya ia menganggap saya cuma bercanda.

"Ya iyalah, yang jahit baju-baju orderan orang itu kan pegawainya. Ibuku sih tinggal memenej saja," jawab saya.



Sebenarnya, perkataan saya bahwa Ibu tidak bisa menjahit tak sepenuhnya benar. Ibu saya bisa sih menjahit, bahkan menjahit adalah hobi beratnya. Saya ingat betul, waktu kecil saya jarang dibelikan pakaian jadi. Hampir semua pakaian saya adalah hasil kreativitas Ibu menyulap kain biasa menjadi pakaian-pakaian cantik nan unik yang tak ada di toko pakaian mana pun.

Namun kualitas jahitan ibu saya standar saja. Artinya, untuk pakaian-pakaian dengan potongan dan desain rumit seperti blazer, kebaya, atau berbagai jenis pakaian resmi lainnya, Ibu masih belum bisa.

Itulah yang saya maksud dengan perkataan "ibuku nggak bisa menjahit." Sebab memang semua order yang notabene berasal dari kalangan high class, tak pernah ditanganinya sendiri. Mulai dari memotong, menjahit, sampai finishing, semua dikerjakan oleh pegawainya yang berjumlah 5-10 orang. Maka usaha jahit ibu dikenal orang sebagai "bukan penjahit biasa", baik dari segi kualitas, model, dan tentu saja ongkos jahitnya. Orang awam beranggapan ibu sebagai "penjahit mahal". Sebaliknya, pelanggan-pelanggan Ibu beranggapan menjahitkan pakaian-pakaian mereka pada Ibu adalah membeli kualitas dan gengsi.

Belasan tahun kemudian, ketika wacana entrepreneurship mulai menjamur di mana-mana, saya menyaksikan di televisi sebuah liputan tentang pengusaha restoran yang menghadirkan hidangan spesialis lele yang laris manis.

Pengusaha muda beromzet miliaran dengan ratusan pegawai itu mengaku bahwa dirinya tidak bisa memasak.

"Andai saya jago masak, mungkin saya tak bakal bisa sesukses ini."

Sebuah tayangan yang sangat menginspirasi, dan membuat saya berkaca pada pengalaman diri sendiri. Saya teringat pada diri saya beberapa tahun yang lalu saat tengah merintis usaha kue basah. Saya yang perfeksionis dan merasa “paling jago" selalu ragu untuk merekrut pegawai. Salah satu alasannya, nanti hasil kuenya jelek, tidak cantik, tidak enak, dan sebagainya.

Sebuah pemikirin picik yang akhirnya menjadi penghambat kemajuan bisnis saya!

Hasilnya? Sudah lama bisnis itu gulung tikar, karena ternyata saya bukanlah tipe multitasking yang dapat menghandel semua pekerjaan seorang diri ketika amanah anak bertambah menjadi dua orang.

Semudah itukah menjadi pengusaha dan mempekerjakan orang lain? Tentu saja tidak. Semua dimulai dari nol. Dimulai dari merekrut pegawai. Lalu mengajari mereka soal banyak hal. Lantas membuat mereka merasa betah bekerja pada kita. Bayangkan jika seorang pegawai sudah cakap dan terampil, mendadak karena berbagai alasan dia memutuskan untuk keluar. Maka tenaga dan pikiran kita harus kembali dicurahkan untuk merekrut serta mendidik tenaga kerja baru.

Itu hanya sekelumit contoh yang saya ambil dari pengalaman ibu saya sendiri. Banyak permasalahan lain yang lebih kompleks, terlebih seiring semakin bertumbuhnya usaha.

Ya, ya, tak perlu jago membuat roti untuk membuka usaha bakery. Tak perlu jago memasak untuk menjadi pengusaha restoran. Tak perlu ahli menjahit untuk membuka usaha jahit. Yang dibutuhkan “hanya” keberanian dan keterampilan managerial dengan segenap aspek-aspeknya.

Betapa mulianya seorang pengusaha. Ia tak gentar memulai dari nol, berani mengambil risiko, dan mau mengesampingkan ego. Ia menjadi wasilah bagi rezeki dan penghasilan banyak orang. Ia menebar manfaat bagi banyak orang.

"Sesungguhnya orang yang paling mulia adalah orang yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain."

Ingin mulia dan bermanfaat bagi banyak orang? Salah satunya, jadilah pengusaha!

Elka Ferani
Surabaya, 11 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...